Pages

Friday, October 30, 2015

[CERPEN] Hujan Tadi Subuh



Jogja, 17 Oktober 2009

Tapak kaki pada tanah basah mulai tak terhitung jumlahnya, mulai tak beraturan posisinya, mulai tak terlihat jelas milik siapa. Mentari mulai menampakkan dirinya usai hujan tadi subuh. Bau khas tanah kering selama kemarau mencuat setelah hujan pertama turun. Wajah sumringah masyarakat berkat Rahmat Allah SWT menghiasi pagi nan cerah. Orang-orang mulai ramai berlalu lalang memadati jalanan. Ahh betapa indah hari ini. Bahagiaku teriring Rahmat dari Nya. Ralat, bukan hanya aku, tapi ratusan mahasiswa lainnya yang akan menghadiri acara wisuda pun pasti merasakannya. 4 tahun berlalu begitu saja. Menyisakan ilmu dan kenangan indahnya.


Hari ini aku beserta ratusan wisudawan wisudawati memadati gedung tempat kami akan resmi dinyatakan sebagai alumni. Mataku tak henti melirik samping kanan dan kiri, depan belakang juga serong kanan dan serong kiri. Aku mencari sesosok wisudawan yang wajahnya selalu menghantuiku selama 3 tahun terakhir. Hampir stengah jam aku celingukan sana dan sini, membuat orang-orang disampingku merasa risih dan mempertanyakan sikapku.

“ra, nyari siapa?” sikut gadis cantik peranakan sunda yang sudah setia menjadi sahabatku selama kuliah, Eka. Aku spontan menengok kaku ke arahnya. Aku tak mungkin jujur. Aku sudah terlanjur menyimpannya seorang diri.

“eenngg.. itu, aku mau tau posisi mama aku, Ka.” Berbohong ! 

Eka manggut-manggut percaya.

Acara sudah dimulai. MC mulai membuka acara dengan membacakan susunan acara seperti biasa. Aku mulai pasrah, mataku mulai lelah dan leherku mulai enggan bergerak. 

That!!! i found him ! thanks, God..

Tanpa sengaja saat lelah mencarinya, ia hadir begitu saja di depan mata. Ia di baris depanku terseling tiga orang didepanku. Rupanya ia terlambat sedikit. Aku lega, atas kehadirannya hari ini.
Tadi malam, aku sibuk menyiapkan diri untuk hari ini. Ada hal yang lebih dari sebuah kata wisuda saat ini, ada rasa yang lebih dari sekedar bahagia saat ini. Aku gugup usai acara. Aku meminta orangtuaku pulang lebih dulu.

Secarik kertas ada di dalam amplop biru muda di dalam tasku. Tertuju , M.Diandra Putra. Aku rungsing sendiri, tak boleh lengah sedikitpun membiarkannya berlalu. Kesempatan terakhir aku bisa menemuinya sebelum kita menempuh hidup baru di dunia kerja. Pintu keluar aku tatap lekat lekat . Aku perhatikan setiap wisudawan yang keluar. Masa bodo dengan  sepatu tinggi ini, dengan kebaya ribet ini. Aku ingin menemuinya !

Ya Allah, izinkan aku menemuinya saat ini, memberinya surat ini. Aku tau yang aku lakukan salah, tak sepantasnya aku melakukan hal bodoh ini. Aku malu padaMu ya, Allah, tapi aku tak ingin ceritaku berlalu begitu saja. Aku ingin dia tau yang sebenarnya. Aku lelah menyimpannya sendiri, aku lelah membiarkan hatiku lebam oleh sesak selama ini. Aku lelah…

Ada air mata yang mulai menggenang di sudut kantung mata, sesak mulai terasa. Haruskah aku lepas semua cerita tanpa berujung seperti ini? Aku mencintainya , dan aku tak mengharap apapun darinya kecuali ia mengetahui perasaan ini.

Tiga tahun yang lalu , aku mulai mengenal sosok Putra. Aktivitas kampus yang mendekatkan kami berdua. Entah hanya perasaanku saja atau benar adanya. Ada sebuah rasa antara kami berdua. Sama-sama tak tercurah, sama-sama terselip di riuhnya kegiatan. Sesekali mata kami saling menatap tak sengaja, kemudian saling bicara, kemudian enyah begitu saja. Sesekali pula aku memergokinya tengah menatap lekat ke arahku. Atau aku yang GR? Tapi semua kebetulan itu kemudian menguatkan perasaanku padanya. Hal-hal kecil membuatku merasakan lebih dari perkenalan dengannya.

Sosoknya yang keras namun berwibawa, lembut dan sopan menjadikannya terkenal dikalangan mahasiswi lainnya. Baiklah, aku sadar diri. Aku yang tak ada apa-apanya diam saja. Aku biarkan rasa ini bersemanyam entah sampai kapan. Biarkan Allah yang mengatur segalanya. Biarkan perasaan ini menjumpai takdirnya kelak.

Dan semuapun berlalu, aku telah menyimpan rasa itu selama ini seorang diri, menjaganya sekuat jiwa dan raga, merawatnya menjadi penyemangat dan ikhlas membawanya kemanapun aku pergi. Ia selalu ada. Namun hari ini aku kalah, aku tak mampu lagi menjaganya, aku ingin berbagi rasa dengannya, setidaknya, jika dirinya tau, maka aku sudah terbantukan memangku perasaan ini separuhnya.

“hei Tiara! Gak ikutan foto?” seseorang menegurku dari belakang.

Aku kenal suara itu, aku kenal ! aku balikan badan, dan exactly ! it’s you ! Putra..

“Putra .. ini emmm,, “  aku buru-buru merogoh tasku mencari amplop biru muda itu. Aaiisshh banyak sekali mama menyelipkan barang di tasku !

“maaf, ra , aku kesana dulu ya .”

“iyaa, eh emm,, ini aku…” belum sempat aku menengadah menatap wajahnya dan mengulurkan amplop ini padanya, ia sudah menghilang . Sosoknya tak lagi ada di hadapanku. Aku kembali mencarinya. Kali ini dengan mudah aku menemukan sosok jangkungnya, namun kali ini dengan mudah pula hatiku remuk bersamaan dengan kepergiannya. Untuk yang pertama dan terakhir kalinya, aku melihat ia melintas dengan perasaan sedih yang teramat sangat. Tak ada lagi air mata yang terbendung. Semuanya tumpah ruah membanjiri pipiku. Usai sudah kisahku, usai sudah ceritaku. Aku tak mau lagi membagi perasaan ini. Tak ada lagi hari ini , tak ada lagi inginku memberikan secarik kertas ini. Biarlah,, kini aku akan mengikuti takdir Nya. Mungkin kisahku akan menjadi dongeng kelak. Layaknya putrid dan pangeran yang memiliki cinta sejati. Ahh.. aku mulai ngawur. Lebih baik aku pulang dan lupakan hari ini .


Jogja, 17 Oktober 2012

Subuh hari ini sejuk, rerintik hujan masih tersisa setelah deras tadi malam. Agendaku menghadiri kajian di daerah mallioboro, jam 9 pagi. Ahhh serasa ada yang mengganjal hari ini. Langkahku terasa berat meninggalkan rumah, ada rasa enggan untuk beranjak ke tempat kajian tapi jangan sampai semua itu membuatku memutuskan langkah.

Kajian rutin setiap minggu, baru kali ini aku hadiri lagi, setelah satu tahun aku merantau ke luar jogja. Pembicara kali ini membahas mengenai “cara mengatasi virus merah jambu” . Ahhh virus itu. Sudah lama aku membiusnya.

“Kalian sudah mendengar kisah Ali dan Fatimah, Sahabat dan Putri Rasulullah SAW, yang sangat luar biasa menjaga perasaan cinta mereka, hingga pada akhirnya Allah menakdirkan mereka bersama. Subhanallah” cerita Ustadzah barusan seketika menusuk hati ini. Jantungku tetiba berdenyut lebih cepat. 
Astaghfirullah.. kisah itu, mungkinkah akan menjadi kisahku pula?
Tanggal hari ini, dan hujan tadi subuh mengingatkanku tepat tiga tahun silam aku mencoba membuat takdirku sendiri.

Ampuni hambaMu ini ya, Allah…

Usai kajian, aku ngadem di bawah pohon dekat penjual dawet ayu. Menikmati sejenak cerahnya jogja.

“assalamu’alaikum, Tiara”

“wa’alaikum salam,,,, Putra?”

Astaghfirullah,, ya Allah, jagalah diri ini, jangan biarkan virus itu kembali dan mengacaukan hari ini

“iyaa, apa kabar, Ra? Udah lama banget ya, ga ketemu” putra duduk disampingku agak berjauhan. 

Aku meliriknya sesaat. Terlihat ia menundukan wajahnya sembari mengayunkan ayunkan kakinya.

“hehe, iya ya..” singkat . Es dawet pesananku datang . cukup untuk menyibukkan diriku yang tengah dilanda kegugupan.

“emm.. kamu sekarang kerja dimana?ohiya,, aku inget banget tiga tahun lalu waktu slesai acra wisuda, ada yang mau kamu sampaikan, bukan? Aku masih penasaran loh.. “ terdengar ia sedikit tertawa.

Ya ampuun Putra,,, to the point banget siih !

“oohh emm,, apa yaa? aku lupa.”  Asik minum es dawet.

“ oh oke deh gapapa. Lagian udah lama banget ya”

Hening…

“ayah… aku dijailin sama bundaa.. masa peci aku di umpetin sama bundaa”

Deg !! ayah ??? keep calm keep calm, Tiara..

Leherku kaku dan tak mau menoleh ke arahnya. Aku terpaku dengan secangkir es dawet yang tinggal separu gelas.

“adduuhh mana bunda? Sini ayah cubit bundanya”

Oh Allah,,, aku tak kuat ada disini,,, biarkan aku menghilang seketika dari sini. Kakiku lemas.

“eh dik, sini. Ra, kenalkan ini istri dan anakku”

Terlihat sesosok wanita cantik, anggung dengan busana muslim dan khimar panjangnya mengulurkan tangannya pada ku.

“hai, ra.. aku udah denger banyak tentang kamu. Akhirnya aku bisa ketemu kamu yah.”

What? Denger cerita tentang aku? Dari siapa? Putra? Untuk apa? Sebegitu menginspirasikan kah diriku? Ahh ngawur lagi.. sudah .. enyah lah aku dari sini,,

“emm iyaa,, haii.. aku Tiara” kaku.

“Putra, aku pamit dulu ya, dan mba,, aku duluan yah.” Aku bergegas pergi tak tahan dengan semua ini .

Air mata yang dulu kembali bercucuran saat ini.

Inikah takdir perasaan ku itu ya Allah? Inikah? Seperti ini?

Aku menyumput di ujung taman kota. Merengek pada Yang Maha Kuasa. Aku kesal dengan diriku, aku kesal dengan hatiku, kenapa bisa tak menghilangkan perasaan itu dari dulu? Kenapa bisa aku tak menjaganya dan menitipkannya pada yang memiliki hati ini? Kenapa bisa aku tak bermunajat kepadaNya untuk mengokohkan hati ini. Kenapa bisa kenapa bisa kenapa bisa?

Begitulah Allah mengatur segalanya. Jikalah saat itu aku sempat memberikan secarik kertas itu padanya, mungkin saat ini ia terjebak dengan perasaan ku yang tak terjaga. Mungkin ia kini tak  bersanding dengan wanita solehah seperti istrinya, tak memiliki anak sesoleh anaknya sekarang.

Hujan tadi subuh membawa cerita yang sempat terputus. Merangkainya kembali membentuk kisah yang nyaris sempurna. Nyaris,, sempurna.

Ikhlas… sulit memang, tapi akan lebih baik seperti ini.





2 comments :